Senin, 13 Desember 2010

Perbandingan antara Golongan Jabariyah dan Qodariyah

Allah adalah pencipta alam semesta, termasuk didalamnya manusia itu sendiri. Allah bersifat Maha Kuasa dan mempunyai kehendak yang bersifat mutlak. Di sini timbullah pertanyaan sampai dimanakah manusia sebagai ciptaan, bergantung pada kehendak dan kekuasaan mutlak Allah dalam menentukan perjalanan hidupnya? Apakah manusia diberi kebebasan oleh Allah dalam mengatur kehidupannya? Ataukah manusia terikat seluruhnya pada kehendak dan kekuasaan mutlak Allah?
Dalam menanggapi pertanyaan-pertanyaan seperti ini ada dua golongan yang menanggapinya dengan berbeda diantaranya golongan Jabariyah. dan Qadariyah.

1.                  Aliran Jabariyah.
Jabariyah berasal dari kata jabara yang berarti memaksa. Dalam kamus Al Munjid, dijelaskan bahwa nama Jabariyah berasal dari kata jabara yang mengandung arti memaksa dan mengharuskannya melakukan sesuatu. Jika dikatakan, Allah mempunyai sifat Al-Jabbar yang artinya Maha Kuasa. Kata jabara setelah ditarik menjadi jabariyah memiliki arti suatu kelompok atau aliran. Lebih lanjut Asy-Syahratsani menegaskan bahwa paham al-jabr berarti menghilangkan perbuatan manusia dalam arti yang sesungguhnya dan menyandarkannya kepada Allah. Dengan kata lain, manusia mengerjakan perbuatannya dalam keadaan terpaksa. Dalam bahasa Inggris, jabariyah disebut fatalism atau predestination, yaitu paham yang menyebutkan bahwa perbuatan manusia telah ditentukan dari semula oleh qadha dan qadar Tuhan.
Faham Al-Jabar pertama kali diperkenalkan oleh Ja’d bin Dirham kemudian disebarkan oleh Jahm bin Shafwan dari Khurasan. Dalam sejarah Teologi Islam, Jahm tercatat sebagai tokoh yang mendirikan aliran Jahmiyah dalam kalangan Murji’ah. Ia adalah sekretaris Suraih bin Al Haris dan selalu menemaninya dalam gerakan melawan kekuasaan Bani Umayah. Dalam perkembangannya, paham Al-Jabar juga dikembangkan oleh Al-Husain bin Muhammad An Najjar dan Ja’d bin Dhirrar.
Dalam kemunculannya para ahli sejarah merasa kesulitan untuk mengetahui siapa yang pertama-tama melahirkan paham tersebut, yang kemudian berkembang dan menjadi sebuah mazhab. Karena hal itu, para ahli sejarah kesulitan menentukan landasan mazhab ini. Nmaun, satu hal yang dapat dipastikan ialah bahwa paham Jabariyah mulai berkembang pada awal masa pemerintahan Bani Umayyah dan pada akhirnya berubah menjadi sebuah mazhab. Ada dua buah risalah yang ditulis oleh dua orang ulama yang hidup pada awal masa pemerintahan Bani Umayyah. Keduanya disebutkan oleh Murthada dalm kitabnya yang berjudul al Munyah wa al-Amal.
Salah satu risalahnya adalah yang ditulis oleh Hasan al-Bashri kepada sekelompok orang dari penduduk Bashrah yang menyiarkan paham Jabariyah. Dalam risalah itu tertulis:
“Barangsiapa tidak beriman kepada Allah serta ketentuan dan qadar-Nya, berarti telah kafir. Barangsiapa memikulkan dosanya kepada Tuhannya, berarti telah kafir. Sesungguhnya kepatuahan dan kedurhakaan terhadap Allah bukan atas dasar paksaan. Allah Maha Pemilik apa yang mereka miliki dan Maha Kuasa atas apa yang mereka kuasai. Jika mereka melakukan suatu ketaatan, Dia tidak ikut campur dalam perbuatan mereka itu. Jika mereka melakukan suatu kedurhakaan, maka kalauDia menghendaki, Dia akan ikut campur di dalamnya. Jika mereka tidak melakukan suatu perbuatan, Dia tidak akan memaksa mereka untuk melakukannya. Jika Dia memaksa seorang hamba untuk melakukan suatu ketaatan, niscaya gugurlah pahala perbuatan mereka, dan Jika Dia memaksa mereka untuk melakukan perbuatan maksiat, maka gugur pulalah dosa dari diri mereka. Sebaliknya, jika Dia membiarkan mereka, berarti Dia lemah dalam qudrah-Nya. Karena itulah, Dia menyembunyikan kehendak-Nya yang terdapat di dalam diri mereka sehingga jika mereka melakukan suatu ketaatan, maka sebenarnya itu merupakan kekuatan dari Allah.”
Diriwayatkan bahwa ‘ibn Abdullah bin ‘Abbas berkata, ‘Ketika saya duduk bersama ayahku, seorang laki-laki datang seraya berkata, ‘Wahai Ibnu ‘Abbas, di daerah ini ada sekelompok orang yang beranggapan bahwa mereka beranggapan dari pihak Allah dan Allah memaksa mereka untuk melakukan perbuatan maksiat.’ Ayahku berkata, ‘Jika saya mengetahui disini ada orang yang seperti itu, akan kucekik lehernya sampai mati. Janganlah kamu mengatakan bahwa Allah memaksa kamu untuk melakukan maksiat, dan jangan pula kamu mangatakan bahwa Allah tidak mengetahui apa yang dilakukan hamba-Nya, karena hal itu berarti kamu, merasa lebih tinggi dari Allah.
Dari penjelasan di atas dapat diketahui bahwa paham itu sudah ada sejak masa shahabat, bahkan dianut oleh orang-orang musyrik. Akan tetapi, perbedaan yang terdapat pada masa pemerintahan Bani Umayyah, bahwa pada masanya paham itu sudah berkembang menjadi suatu mazhab yang memiliki banyak pendukung. Mereka menyiarkan, mempelajari, dan menyebarluaskannya kepada masyarakat.
Sebagian ahli mengatakan bahwa yang mula-mula menganut paham itu adalah sekelompok orang Yahudi. Mereka mengajarkannya kepada sekelompok umat Islam yang kemudian menyiarkannya. Ad pula yang mengatakan bahwa yang mula-mula menyerukan paham ini diantara umat Islam adalah Ja’d bin Dirham yang menerimanya dari seorang Yahudi di daerah Syam. Ia menyiarkan paham itu di Bashrah. Diantara penganut selanjutnya adalah Jahm ibnu Shafwan. Di dalam kitab Sarh al-‘Uyun dijelaskan keadaan Ja’d bin Dirham sebagai berikut:
Mayarakat mempelajri paham Jabariyah yang dinisbahkan kepada Al Jahm itu dari Jahm ibnu Shafwan. Ada pula yang mengatakan bahwa Ja’d menerima paham itu dari Aban ibnu Sam’an, dan ia menerimanya dari Aban ibnu Thalut ibnu ‘Asham al-Yahudi.
Akan tetapi, tidak dikatakan bahwa orang Yahudi tidak sendirian mengembangkan paham itu, kaarena diantara orang-orang Persia sebelumnya juga sudah terdapat pemikiran seperti itu.
Menurut Asy Syahratsani, Jabariyah dapat dikelompokkan menjadi dua bagian, yaitu golongan ekstrim dan moderat. Diantara doktrin Jabariyah ekstrim adalah bahwa segala perbuatan manusia bukan merupakan perbuatan yang timbul dari kemauannya sendiri, tetapi perbuatan yang dipaksakan atas dirinya. Misalnya jika seorang mencuri, perbuatan mencuri itu bukanlah terjadi atas kehendak sendiri, tetapi timbul karena qadha dan qadar Tuhan yang menghendaki demikian. Diantan pemuka Jabariyah ekstrim adalah Jahm bin Shafwan dan Ja’d bin Dirham.
Berbeda dengan Jabariyah ekstrim, Jabariyah moderat mengatakan bahwa Tuhan menciptakan perbuatan manusia, baik perbuatan jahat maupun perbuatan baik, tetapi manusia mempunyai bagian di dalam diri. Tenaga yng diciptakan dalam diri, manusia mempunyai efek untuk mewujudkan perbuatannya. Inilah yang dimaksud dengan kasab (acquistin). Menurut paham kasab, manusia tidaklah majbur (dipaksa oleh Tuhan), tidak seperti wayang yang dikendalikan oleh dalang dan tidak pula menjadi pencipta perbuatan, tetapi manusia memperoleh perbuatan yang diciptakan Tuhan. Diantara tokoh Jabariyah moderat adalah An-Najjar dan Adh-Dhirar.  

2.                  Golongan Qadariyah
Qadariyah berasal dari bahasa Arab, yaitu dari kata qadara yang artinya kemampuan dan kekuatan. Ada pun menurut pengertian terminology, Qdariyah adalah suatu aliran yang percaya bahwa segala tindakan manusia tidak di intervensi oleh Tuhan.
Aliran ini berpendapat bahwa tiap-tiap orang adalah pencipta bagi segala perbuatannya, ia dapat berbuat sesuatu atau meninggalkannya atas kehendaknya sendiri. Berdasarkan pengertian tersebut, dapat dipahami bahwa Qadariyah dipakai untuk nama suatu aliran yang memberi penekanan atas kebebasan dan kekuatan manusia dalam mewujudkan perbuatan-perbuatannya. Dalam hal ini, Harun Nasution menegaskan bahwa kaum Qadariyah berasal dari pengertian bahwa manusia mempunyai qudrah atau kekuatan untuk melaksanakan kehendaknya, dan bukan berasal dari pengertian bahwa manusia terpaksa tunduk pada qadar Tuhan.
Seharusnya, sebutan Qadariyah diberikan kepada aliran yang berpendapat bahwa qadar menentukan segala tingkah laku manusia, baik yang bagus maupun yang jahat. Namun, sebutan tersebut telah melekatpada kaum Sunni, yang percaya bahwa manusia mempunyai kebebasan berkehendak.
Telah dijelaskan bahwa pada ahir masa pemerintahan al-Khulafa’ al-Rasyidun dan masa pemerintahan Bani Umayyah, kaum uslimin memeperbincangan masalah al-qada dan al-qadar. Sebagian mereka, yaitu penganut faham jabariyyah, memahaminya secara berlebihan sehingga menafikan adanya kehendak manusia dalam melakukan perbuatannya. Sebagian lagi yang juga berlebihan, yaitu penganut faham qadariyah, mengatakan bahwa semua perbuatan manusia adalah karena kehendaknya sendiri, bebas dari kehendak Allah. Di antara penganut faham ini adalah golongan mu’tazilah – walaupun mereka lebih dikenal dengan pembahasan kalam yang lain – dan salah satu masalah yang mereka bahas adalah al-qadar.
Kapan qdariyah muncul? Dan siapa tokoh-tokohnya? Merupakan dua tema yang masih diperdebatkan. Menurut Ahmad Amin, ada ahli theologi yang mengatakan, bahwa qodariyah pertama kali di munculkan oleh Ma’bad Al-Jauhani dan Ghaylan Ad-Damsyiqy. Ma’bad adalah, seorang taba’I yang dapat di percaya dan pernah berguru pada Hasan Al-Bashri. Adapun Ghailan adalah, seorang orator, berasal dari damasyqus dan ayahnya menjadi maula, Utsman ibn ‘Affan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar