Jumat, 30 September 2011

Pentingnya Ilmu

1. Pentingnya Ilmu
Jika manusia ditanya "apakah penting makanan bagi manusia?" maka mereka menjawab " sangat penting"
Lalu apabila ditanya lagi "apakah penting air bagi manusia?" maka mereka menjawab " sangat penting"
Dan terakhir apabila mereka di ditanya lagi "apakah penting udara bagi manusia?" maka mereka pun menjawab "sangat penting"
Apabila diuraikan maka kebuthan yang paling utama adalah udara karena manuasia tidak akan bisa hidup apabila kekurangan udara beberapa menit, kemudian kebutuhan kedua adalah air karena manusia tanpa air manusia tidak akan bisa hidup dalam satu hari, dan kebutuhan yang ketiga adalah makanan karena manusia tidak akan bisa hidup lebih dari tiga hari tanpa makanan.
Itulah hakikat pemikiran manusia sekarang ini, mereka lupa bahwa ada hal yang lebih penting diatas tiga hal yang telah disebutkan tadi, hal yang dimaksud adalah ilmu.
Dalam setiap hal manusia perlu memakai ilmu karena tanpa ilmu maka manusia tidak akan dapat mencapai tujuan yang diharapkan.
ketika manusia berjalan tanpa ilmu maka mereka tidak akan mendapat apa-apa dari perjalannannya tersebut. sedangkan apabila mereka berjalan dengan memakai ilmu maka akan banyak hal yang didapat dari perjalanannya tersebut.
oleh karena itu ilmu merupakan kebutuhan utama bagi manusia dibandingkan udara, air dan makanan

Senin, 13 Desember 2010

Perbandingan antara Golongan Jabariyah dan Qodariyah

Allah adalah pencipta alam semesta, termasuk didalamnya manusia itu sendiri. Allah bersifat Maha Kuasa dan mempunyai kehendak yang bersifat mutlak. Di sini timbullah pertanyaan sampai dimanakah manusia sebagai ciptaan, bergantung pada kehendak dan kekuasaan mutlak Allah dalam menentukan perjalanan hidupnya? Apakah manusia diberi kebebasan oleh Allah dalam mengatur kehidupannya? Ataukah manusia terikat seluruhnya pada kehendak dan kekuasaan mutlak Allah?
Dalam menanggapi pertanyaan-pertanyaan seperti ini ada dua golongan yang menanggapinya dengan berbeda diantaranya golongan Jabariyah. dan Qadariyah.

1.                  Aliran Jabariyah.
Jabariyah berasal dari kata jabara yang berarti memaksa. Dalam kamus Al Munjid, dijelaskan bahwa nama Jabariyah berasal dari kata jabara yang mengandung arti memaksa dan mengharuskannya melakukan sesuatu. Jika dikatakan, Allah mempunyai sifat Al-Jabbar yang artinya Maha Kuasa. Kata jabara setelah ditarik menjadi jabariyah memiliki arti suatu kelompok atau aliran. Lebih lanjut Asy-Syahratsani menegaskan bahwa paham al-jabr berarti menghilangkan perbuatan manusia dalam arti yang sesungguhnya dan menyandarkannya kepada Allah. Dengan kata lain, manusia mengerjakan perbuatannya dalam keadaan terpaksa. Dalam bahasa Inggris, jabariyah disebut fatalism atau predestination, yaitu paham yang menyebutkan bahwa perbuatan manusia telah ditentukan dari semula oleh qadha dan qadar Tuhan.
Faham Al-Jabar pertama kali diperkenalkan oleh Ja’d bin Dirham kemudian disebarkan oleh Jahm bin Shafwan dari Khurasan. Dalam sejarah Teologi Islam, Jahm tercatat sebagai tokoh yang mendirikan aliran Jahmiyah dalam kalangan Murji’ah. Ia adalah sekretaris Suraih bin Al Haris dan selalu menemaninya dalam gerakan melawan kekuasaan Bani Umayah. Dalam perkembangannya, paham Al-Jabar juga dikembangkan oleh Al-Husain bin Muhammad An Najjar dan Ja’d bin Dhirrar.
Dalam kemunculannya para ahli sejarah merasa kesulitan untuk mengetahui siapa yang pertama-tama melahirkan paham tersebut, yang kemudian berkembang dan menjadi sebuah mazhab. Karena hal itu, para ahli sejarah kesulitan menentukan landasan mazhab ini. Nmaun, satu hal yang dapat dipastikan ialah bahwa paham Jabariyah mulai berkembang pada awal masa pemerintahan Bani Umayyah dan pada akhirnya berubah menjadi sebuah mazhab. Ada dua buah risalah yang ditulis oleh dua orang ulama yang hidup pada awal masa pemerintahan Bani Umayyah. Keduanya disebutkan oleh Murthada dalm kitabnya yang berjudul al Munyah wa al-Amal.
Salah satu risalahnya adalah yang ditulis oleh Hasan al-Bashri kepada sekelompok orang dari penduduk Bashrah yang menyiarkan paham Jabariyah. Dalam risalah itu tertulis:
“Barangsiapa tidak beriman kepada Allah serta ketentuan dan qadar-Nya, berarti telah kafir. Barangsiapa memikulkan dosanya kepada Tuhannya, berarti telah kafir. Sesungguhnya kepatuahan dan kedurhakaan terhadap Allah bukan atas dasar paksaan. Allah Maha Pemilik apa yang mereka miliki dan Maha Kuasa atas apa yang mereka kuasai. Jika mereka melakukan suatu ketaatan, Dia tidak ikut campur dalam perbuatan mereka itu. Jika mereka melakukan suatu kedurhakaan, maka kalauDia menghendaki, Dia akan ikut campur di dalamnya. Jika mereka tidak melakukan suatu perbuatan, Dia tidak akan memaksa mereka untuk melakukannya. Jika Dia memaksa seorang hamba untuk melakukan suatu ketaatan, niscaya gugurlah pahala perbuatan mereka, dan Jika Dia memaksa mereka untuk melakukan perbuatan maksiat, maka gugur pulalah dosa dari diri mereka. Sebaliknya, jika Dia membiarkan mereka, berarti Dia lemah dalam qudrah-Nya. Karena itulah, Dia menyembunyikan kehendak-Nya yang terdapat di dalam diri mereka sehingga jika mereka melakukan suatu ketaatan, maka sebenarnya itu merupakan kekuatan dari Allah.”
Diriwayatkan bahwa ‘ibn Abdullah bin ‘Abbas berkata, ‘Ketika saya duduk bersama ayahku, seorang laki-laki datang seraya berkata, ‘Wahai Ibnu ‘Abbas, di daerah ini ada sekelompok orang yang beranggapan bahwa mereka beranggapan dari pihak Allah dan Allah memaksa mereka untuk melakukan perbuatan maksiat.’ Ayahku berkata, ‘Jika saya mengetahui disini ada orang yang seperti itu, akan kucekik lehernya sampai mati. Janganlah kamu mengatakan bahwa Allah memaksa kamu untuk melakukan maksiat, dan jangan pula kamu mangatakan bahwa Allah tidak mengetahui apa yang dilakukan hamba-Nya, karena hal itu berarti kamu, merasa lebih tinggi dari Allah.
Dari penjelasan di atas dapat diketahui bahwa paham itu sudah ada sejak masa shahabat, bahkan dianut oleh orang-orang musyrik. Akan tetapi, perbedaan yang terdapat pada masa pemerintahan Bani Umayyah, bahwa pada masanya paham itu sudah berkembang menjadi suatu mazhab yang memiliki banyak pendukung. Mereka menyiarkan, mempelajari, dan menyebarluaskannya kepada masyarakat.
Sebagian ahli mengatakan bahwa yang mula-mula menganut paham itu adalah sekelompok orang Yahudi. Mereka mengajarkannya kepada sekelompok umat Islam yang kemudian menyiarkannya. Ad pula yang mengatakan bahwa yang mula-mula menyerukan paham ini diantara umat Islam adalah Ja’d bin Dirham yang menerimanya dari seorang Yahudi di daerah Syam. Ia menyiarkan paham itu di Bashrah. Diantara penganut selanjutnya adalah Jahm ibnu Shafwan. Di dalam kitab Sarh al-‘Uyun dijelaskan keadaan Ja’d bin Dirham sebagai berikut:
Mayarakat mempelajri paham Jabariyah yang dinisbahkan kepada Al Jahm itu dari Jahm ibnu Shafwan. Ada pula yang mengatakan bahwa Ja’d menerima paham itu dari Aban ibnu Sam’an, dan ia menerimanya dari Aban ibnu Thalut ibnu ‘Asham al-Yahudi.
Akan tetapi, tidak dikatakan bahwa orang Yahudi tidak sendirian mengembangkan paham itu, kaarena diantara orang-orang Persia sebelumnya juga sudah terdapat pemikiran seperti itu.
Menurut Asy Syahratsani, Jabariyah dapat dikelompokkan menjadi dua bagian, yaitu golongan ekstrim dan moderat. Diantara doktrin Jabariyah ekstrim adalah bahwa segala perbuatan manusia bukan merupakan perbuatan yang timbul dari kemauannya sendiri, tetapi perbuatan yang dipaksakan atas dirinya. Misalnya jika seorang mencuri, perbuatan mencuri itu bukanlah terjadi atas kehendak sendiri, tetapi timbul karena qadha dan qadar Tuhan yang menghendaki demikian. Diantan pemuka Jabariyah ekstrim adalah Jahm bin Shafwan dan Ja’d bin Dirham.
Berbeda dengan Jabariyah ekstrim, Jabariyah moderat mengatakan bahwa Tuhan menciptakan perbuatan manusia, baik perbuatan jahat maupun perbuatan baik, tetapi manusia mempunyai bagian di dalam diri. Tenaga yng diciptakan dalam diri, manusia mempunyai efek untuk mewujudkan perbuatannya. Inilah yang dimaksud dengan kasab (acquistin). Menurut paham kasab, manusia tidaklah majbur (dipaksa oleh Tuhan), tidak seperti wayang yang dikendalikan oleh dalang dan tidak pula menjadi pencipta perbuatan, tetapi manusia memperoleh perbuatan yang diciptakan Tuhan. Diantara tokoh Jabariyah moderat adalah An-Najjar dan Adh-Dhirar.  

2.                  Golongan Qadariyah
Qadariyah berasal dari bahasa Arab, yaitu dari kata qadara yang artinya kemampuan dan kekuatan. Ada pun menurut pengertian terminology, Qdariyah adalah suatu aliran yang percaya bahwa segala tindakan manusia tidak di intervensi oleh Tuhan.
Aliran ini berpendapat bahwa tiap-tiap orang adalah pencipta bagi segala perbuatannya, ia dapat berbuat sesuatu atau meninggalkannya atas kehendaknya sendiri. Berdasarkan pengertian tersebut, dapat dipahami bahwa Qadariyah dipakai untuk nama suatu aliran yang memberi penekanan atas kebebasan dan kekuatan manusia dalam mewujudkan perbuatan-perbuatannya. Dalam hal ini, Harun Nasution menegaskan bahwa kaum Qadariyah berasal dari pengertian bahwa manusia mempunyai qudrah atau kekuatan untuk melaksanakan kehendaknya, dan bukan berasal dari pengertian bahwa manusia terpaksa tunduk pada qadar Tuhan.
Seharusnya, sebutan Qadariyah diberikan kepada aliran yang berpendapat bahwa qadar menentukan segala tingkah laku manusia, baik yang bagus maupun yang jahat. Namun, sebutan tersebut telah melekatpada kaum Sunni, yang percaya bahwa manusia mempunyai kebebasan berkehendak.
Telah dijelaskan bahwa pada ahir masa pemerintahan al-Khulafa’ al-Rasyidun dan masa pemerintahan Bani Umayyah, kaum uslimin memeperbincangan masalah al-qada dan al-qadar. Sebagian mereka, yaitu penganut faham jabariyyah, memahaminya secara berlebihan sehingga menafikan adanya kehendak manusia dalam melakukan perbuatannya. Sebagian lagi yang juga berlebihan, yaitu penganut faham qadariyah, mengatakan bahwa semua perbuatan manusia adalah karena kehendaknya sendiri, bebas dari kehendak Allah. Di antara penganut faham ini adalah golongan mu’tazilah – walaupun mereka lebih dikenal dengan pembahasan kalam yang lain – dan salah satu masalah yang mereka bahas adalah al-qadar.
Kapan qdariyah muncul? Dan siapa tokoh-tokohnya? Merupakan dua tema yang masih diperdebatkan. Menurut Ahmad Amin, ada ahli theologi yang mengatakan, bahwa qodariyah pertama kali di munculkan oleh Ma’bad Al-Jauhani dan Ghaylan Ad-Damsyiqy. Ma’bad adalah, seorang taba’I yang dapat di percaya dan pernah berguru pada Hasan Al-Bashri. Adapun Ghailan adalah, seorang orator, berasal dari damasyqus dan ayahnya menjadi maula, Utsman ibn ‘Affan.

Minggu, 12 Desember 2010

Ayat-ayat tentang Manusia

سُوۡرَةُ آل عِمرَان
يَـٰٓأَيُّہَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ ٱتَّقُواْ ٱللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِۦ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنتُم مُّسۡلِمُونَ (
١٠٢)
KELUARGA ’IMRAN
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam. (102)
Tafsir
Bertakwalah kepada Allah karena memang sudah menjadi hak-Nya agar manusia bertakwa kepada-Nya. Takwa tidak terbatas waktunya hingga menimbulkan keinginan dalam hati untuk berusaha mencapainya dalam waktu tertentu itu, sebagaimana yang digambarkan dan dibayangkan orang. Apabila hati sudah memasuki jalan takwa, maka akan terbukalah banginya cakrawala yang luas, dan akan timbullah kerinduan-kerinduan. Semakin dekat seseorang dengan ketakwaannya kepada Allah, maka akan semakin kuatlah kerinduannya kepada kedudukan teringgi yan dapat dicapainya, dan tingkat setelahnya. Maka, akan sampailah hatinya ke maqam (posisi) kesadaran hingga tidak tidur dan terlena lagi.

سُوۡرَةُ الاٴعرَاف
وَٱتۡلُ عَلَيۡهِمۡ نَبَأَ ٱلَّذِىٓ ءَاتَيۡنَـٰهُ ءَايَـٰتِنَا فَٱنسَلَخَ مِنۡهَا فَأَتۡبَعَهُ ٱلشَّيۡطَـٰنُ فَكَانَ مِنَ ٱلۡغَاوِينَ (
١٧٥) وَلَوۡ شِئۡنَا لَرَفَعۡنَـٰهُ بِہَا وَلَـٰكِنَّهُ ۥۤ أَخۡلَدَ إِلَى ٱلۡأَرۡضِ وَٱتَّبَعَ هَوَٮٰهُ‌ۚ فَمَثَلُهُ ۥ كَمَثَلِ ٱلۡڪَلۡبِ إِن تَحۡمِلۡ عَلَيۡهِ يَلۡهَثۡ أَوۡ تَتۡرُڪۡهُ يَلۡهَث‌ۚ ذَّٲلِكَ مَثَلُ ٱلۡقَوۡمِ ٱلَّذِينَ كَذَّبُواْ بِـَٔايَـٰتِنَا‌ۚ فَٱقۡصُصِ ٱلۡقَصَصَ لَعَلَّهُمۡ يَتَفَكَّرُونَ (١٧٦)
TEMPAT TERTINGGI
Dan bacakanlah kepada mereka berita orang yang telah Kami berikan kepadanya ayat-ayat Kami [pengetahuan tentang isi Al Kitab], kemudian dia melepaskan diri daripada ayat-ayat itu lalu dia diikuti oleh syaitan [sampai dia tergoda], maka jadilah dia termasuk orang-orang yang sesat. (175) Dan kalau Kami menghendaki, sesungguhnya Kami tinggikan [derajat]nya dengan ayat-ayat itu, tetapi dia cenderung kepada dunia dan menurutkan hawa nafsunya yang rendah, maka perumpamaannya seperti anjing jika kamu menghalaunya diulurkannya lidahnya dan jika kamu membiarkannya dia mengulurkan lidahnya [juga]. Demikian itulah perumpamaan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami. Maka ceritakanlah [kepada mereka] kisah-kisah itu agar mereka berfikir. (176)
Tafsir
Ini adalah pemandangan yang menakjubkan, baru, dan serius, yang terkandung dalam lukisan dan pelukisan bahasa ini. Seorang manusia yang Allah memberikan kepadanya ayat-ayat-Nya (pengetahuan tentang isi Alkitab), memberikan karunia kepadanya, memberinya, dan memberinya kesempatan yang sempurna untuk menggunakan petunjuk, berhubungan dengan Tuhan, dan meninggikan derajatnya. Akan tetapi, ia melepaskan diri dari semua ini. Ia melepaskan diri seakan-akan ayat –ayat Allah sebagai kulit yang melekat pada dirinya. Lantas, ia melepaskannya dengan keras dan susah payah, seperti halnya makhluk hidup melepaskan dirinya dari kulit yang melekat pada dirinya. Bukankah keberadaan manusia itu lekat dengan rasa iman kepada Allah seperti melekatnya kulit pada tubuh?
Nah, inilah ia melepaskan diri dari ayat-ayat Allah, melepaskan diri dari penutup yang melindungi, dan baju besi pelindung diri. Ia menyimpang dari petunjuk untuk mengikuti hawa nafsu, turun dari ufuk yang bersinar cemerlang lantas belepotan dengan tanah lumpur. Sehingga, jadilah ia sebagai buruan setan yang tidak ada seorang pun yang dapat melindunginya dari setan itu. Karena itu, ia menjadi pengikut setan dan dikuasai olehnya.
Kemudian, inilah kita berada didepan pemandangan yang menakutkan dan mengerikan. Yaitu, berada didepan makhluk yang lekat ke bumi, berlumuran dengan lumpur, dan tiba-tiba keadaannya berubah seperti anjing, yang mengulurkan lidahnya. Kalau dihalau dan mengulurkan lidahnya meskipun tidak dihalau.pemandangan pemandangan ini bergerak dengan beruntun, dan bayangan tentang kesan-kesannya tampak jelas. Tiba-tiba kita berada pada pemandangan terakhir. Yaitu menjulurkan lidah yang tiada henti. Terdengar komentar yang menakutkanb dan mengesankan terhadap semua pemandangan itu.
Begitulah perumpamaan merkea! Ayat-ayat yang membawa ptunjuk dan mengisyaratkan serta memicu keimanan melekat pada fitrah mereka dan keberadaan mereka serta seluruh wujud semesta yang ada disekelilingya. Akan tetapi, kemudian mereka melepaskan diri darinya. Tiba-tiba mereka berubah eksistensinya, turun derajatnya dari posisi “manusia” ke posisi binatang… posisi anjing yang begelimang debu. Padahal, mereka memiliki sayap iman yang digunakan terbang ke “illiyyin”, posisi orang-orang yang tinggi dan terhormat. Fitrah mereka yang pertama adalah dalam bentuk yang seindah-indahnya. Akan tetapi, mereka jatuh darinya ke derajat yang serendah-rendahnya!   

سُوۡرَةُ بنیٓ اسرآئیل / الإسرَاء
۞ وَلَقَدۡ كَرَّمۡنَا بَنِىٓ ءَادَمَ وَحَمَلۡنَـٰهُمۡ فِى ٱلۡبَرِّ وَٱلۡبَحۡرِ وَرَزَقۡنَـٰهُم مِّنَ ٱلطَّيِّبَـٰتِ وَفَضَّلۡنَـٰهُمۡ عَلَىٰ ڪَثِيرٍ۬ مِّمَّنۡ خَلَقۡنَا تَفۡضِيلاً۬ (
٧٠)

MEMPERJALANKAN DI MALAM HARI
Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan, [1] Kami beri mereka rezki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan. (70)
Tafsir
“kami angkut mereka didaratan dan dilautan…” Mengankat mereka didaratan dan dilautan ini terjadi dengan ditundukan-Nya hokum alam agar ia serasi dengan tabiat kehidupan manusia beserta semua potensi yang dimilikinya. Seandainya hokum ala mini tidak harmonis dengan tabiat kemanusiaan, niscaya tak akan tegak kehidupan manusia. Karena, ia sangat lemah dan kerdil jika disbanding dengan fenomena-fenomena alam yang ada dilautan maupun didaratan. Tetapi, manusia dibekali Allah dengan kemampuan menguasai kehidupan di alam raya. Sekaligus dibekali dengan berbagai potensi agar ia dapat memanfaatkan ala mini. Semua itu merupakan anugerah Allah yang amat besar.
“Kami beri mereka rezeki dari yang bai-baik.” Biasanya manusia mudah melupakan rezeki yang baik-baik yang diberikan Allah kepadanya, karena ia terbiasa hidup dalam kemewahan. Sehingga, banyak orang yang tak merasakan nikmatnya rezeki yang baik kecuali ketika ia kehilangan rezeki itu. Dikala itulah, manusia menyadari nilai dari dari yang selama ini ia nikmati. Tetapi, memang cepat sekali manusia lalai dan lupa kan segala bentuk kenikmatan yang berupa matahari, udara, air, kesehatn dan kemampuan untuk bergerak, pancaindra, akal pikiran, dan berbagai makanan dan minuman serta pemandangan. Juga alam raya yang luas yang dikuasakan kepadanya, yang didalamnya terdapat rezeki yang baik dengan jumlah yang tak terhingga.
“ …dan kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang kami ciptakan.” Kaminutamakan manusia dengan kami jadikan mereka sebagi khalifah yang menguasai bumi seluas-luasnya. Juga dengan kami berikan didalam fitrah manusia sebagai makhluk yang unik dan istimewa ditengah makhlik-makhluk yang lain.
Setiap manusia akan mendapatkan hasil amalnya
Setiap saru bentuk kemulian manusia yang lain adalah bahwa ia bebas bertanggung jawab atas dirinya sendiri, dank an menanggung akibat visi hidup yang ia anut dan hasil karya amalny. Bahkan, ini merupakan karakter utama yang menjadikan manusia sebagai manusia, diamana ia bebas memilih arah hidupnya dan ia sendiri yang akan bertanggung jawab atas pilihannya. Dengan inilah manusia diangkat sebagai khalifah di negeri dunia tempat berkarya ini. Karena itu, sungguh adil jika menemukan balasan dari arah hidupnya dan menerima dari amal usahanya itu di negeri tempat dihisabnya amal perbuatan kelak.     

سُوۡرَةُ المؤمنون
وَٱلَّذِينَ هُمۡ لِفُرُوجِهِمۡ حَـٰفِظُونَ (
٥)
ORANG-ORANG YANG BERIMAN
dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, (5)
Tafsir
Ini adalah kesucian roh, rumah tangga, dan jamaah. Ia juga merupakan penjagaan jiwa, keluarga, dan masyarakat, dengan menjaga kemaluan dari penyimpangan seksual yang tidak halal, menjaga hati dari keinginan yang tidak halal, dan menjaga jamaah dari kebebasan syahwat didalam hal-hal yang haram tanpa disadari. Yaitu, hancurnya institusi rumah tangga dan hancurnya keturunan.
Masyarakat yang telah dominan kebebasan syahwatnya tanpa bisa dihindari adalah masyarakat yang kotor dan hina dalam kemanusiaan. Ukuran yang tidak mungkin salah dalam meningkatkan kehidupan manusia adalah mengendalikan keinginan manusia dan mengalahnkannya. Pengelolaan dorongan-dorongan fitrah dalamgambaran yang mebuahkan dan suci membuat semua bayi tahu proses lahirnya mereka kedunia ini. Karena, proses tersebut adalah proses yang suci dan alami. Dengan proses ini, setiap bayi tahu siapa bapaknya. Bukan seperti hewan yang hina di mana betinanya dibuahi oleh jantanya hanya karena nafsu. Kemudian anak hewan tidak tahu sama sekali dari mana proses keberadaannya.
Al-Qur’an disisni membatasi tempat-tempat pembuahannya yang halal dimana seharusnya setiap orang meletakkan benihnya.

سُوۡرَةُ التِّین
بِسۡمِ ٱللهِ ٱلرَّحۡمَـٰنِ ٱلرَّحِيمِ
وَٱلتِّينِ وَٱلزَّيۡتُونِ (١) وَطُورِ سِينِينَ (٢) وَهَـٰذَا ٱلۡبَلَدِ ٱلۡأَمِينِ (٣) لَقَدۡ خَلَقۡنَا ٱلۡإِنسَـٰنَ فِىٓ
أَحۡسَنِ تَقۡوِيمٍ۬ (٤) ثُمَّ رَدَدۡنَـٰهُ أَسۡفَلَ سَـٰفِلِينَ (٥) إِلَّا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ وَعَمِلُواْ ٱلصَّـٰلِحَـٰتِ فَلَهُمۡ أَجۡرٌ غَيۡرُ مَمۡنُونٍ۬ (٦) فَمَا يُكَذِّبُكَ بَعۡدُ بِٱلدِّينِ (٧) أَلَيۡسَ ٱللَّهُ بِأَحۡكَمِ ٱلۡحَـٰكِمِينَ (٨)
BUAH TIN
Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang
Demi [buah] Tin dan [buah] Zaitun [1], (1) dan demi bukit Sinai [2], (2) dan demi kota [Mekah] ini yang aman, (3) sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya. (4) Kemudian Kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya [neraka], (5) kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh; maka bagi mereka pahala yang tiada putus-putusnya. (6) Maka apakah yang menyebabkan kamu mendustakan [hari] pembalasan sesudah [adanya keterangan-keterangan] itu? (7) Bukankah Allah Hakim yang seadil-adilnya? (8)
Tafsir
Dari ayat-ayat ini, tampak bagaiman perihatian Allah dalam menciptakan manusia di dalam bentuk yang sebaik-baiknya. Memang Allah SWT menciptakan segala sesuatu dengan sebaik-baiknya, tetapi dikhususkannya penyebutan manusia disini dan di tempat-tempat lain dalam Al-Qur’an dengan susunan yang sebaik-baiknya, bentuk yang sebaik-baiknya, dan keseimbangan yang sebaik-baiknya. Hal ini menunjukan perhatian yang lebih dari Allah kepada makhluk yang bernama manusia.
Perhatian Allah kepada manusia, meskipun pada diri mereka juga terdapat kelemahan dan adakalnya penyimpangan dari fitrah dan kerusakan, mengisyaratkan bahwa mereka memiliki urusan tersendiri dari Allah, dan memiliki timbangan sendiri didalam system semesta. Perhatian ini tampak didalam penciptaanya dan susunan tubuhnya yang bernilai dibandingkandengan makhluk lain, baik dalam susunan fisiknya yang sangat cermat dan rumit, susunan akalnya yang unik, maupun susunan ruhnya yang menakjubkan.
Kemudian pembicaraan disini ditekankan khususiah ruhiahnya. Karena, ialah yang menjadikannya jatuh ketempat yang serendah-rendahnya ketika menyimpang dari fitrah dan menyeleweng dari iman yang lurus. Karena sudah jelas bahwa wujud badaniyah tidak akan menjatuhkannya ke derajat yangserendah-rendahnya.
Didalam khususiah ruhiahnya ini, tampaklah keunggulan wujud manusia. Maka, mereka diberi potensi untuk mencapai tingkatan yang tinggimelebihi kedudukan malaikat muqarrabin, sebagaimana dibuktikan dengan adanya peristiwa isra mi’raj. Ketika itu malaikat jibril berhenti pada suatu tempat, sedang Nabi Muhammad bin Abdullah yang masih manusia it uterus naik ketempat yang lebih tinggi.
Akan tetapi, manusia juga potensial untuk mencapai derajat terendah yang tidak ada makhluk lain mencapai derajat kerendahan sepperti itu. “kemudian kami kembalikan dia ketempat yang serendah-rendahnya.” Ketika itu makhluk binatang pun masih lebih tinggi dan lebih lurus daripadanya. Karena, binatang masih istiqamah pada fitrahnya, masih melaksanakan ilham bertasbih menyucikan Tuhannya, dan menunaikan tugasnya di bumi menurut petunjuk yang digariskan Allah. Sedangkan, manusia yang diciptakan dalam bentuk sebaik-baiknya, mengingkari Tuhannya dan meperturutkan hawa nafsunya. Sehingga ia jatuh kelembah kehinaan terendah yang binatang pun tidak sampai jatuh serendah itu.
“sesengguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya” dalam fitrah dan potensinya. ”kemudian kami kembalikan di ke tempat yang serendah-rendahnya” ketika dia sudah menyimpang dengan fitrahnya dari garis yang telah ditunjuki dan dijelaskan oleh Allah. Kemudian dibiarkan-Nya ia untuk memilih salah satu dari dua jalan kehidupan.
“ Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh, serta meningkatkan derajatnya ketingkat kesempurnaan sesuai dengan ukuran yang ditetapkan untuknya. Sehingga, mencapai kehidupan yang sempurna di negeri kesempurnaan. “maka, bagi mereka pahala yang tiada putu-putusnya”, yang kekal abadi tidak akan pernah berhenti.
Adapun orang-orang yang terbalik dengan fitrahnya ke tingkatan yang serendah-rendahnya, maka kelak akan menempati tempat paling rendah di akhirat nanti, dineraka jahanam. Disana kemanusiaannya tersia-sia, berkubang dalam kehinaan.
Inilah dua akibat yang logis sesuai dengan titik awalnya. Adakalanya bermula dari komitmennya pada fitrah yang lurus dan menyempurnakannya dengan iman, serta meninggikannya dengan amal saleh. Kemudian pada akhirnya dia akan sampai pada kesempurnaan yang ditetapkan dan berada dalam kehidupan yang penuh dalam kenikmatan. Namun ada kalanya menyimpang dari fitrah yang lurus, terbalik, dan terputus dari tiupan ilahih. Sehingga, pada akhirnya ia sampai ke tempat paling rendah, di neraka yang menyala-nyala.
Oleh karena itu, tampak jelaslah nilai iman di dalam kehidupan manusia. Iman inilah yang meningkatkan dan menyampaikan fitrah yang lurus untuk mencapai puncak kesempurnaanya. Ia adalah tali yang membentang antara fitrah dan penciptanya. Ia adalah cahaya yang menerangi langkah-langkahnya untuk mendaki kepada kehidupan orang dalam kemuliaan yang kekal.
Apabila tali ini putus dan cahaya itu padam, maka hasil yang pasti adalah keterjatuhan ketempat yang serendah rendahnya. Sehingga, terabaikan kemanusiaanya secara total, ketika tanah liat berlumuran pada wujud manusia. Dengan demikian, ia menjadi bahan bakar api neraka bersama bebatuan. 

Sabtu, 11 Desember 2010

ASAL MULA TIMBULNYA PERBEDAAN TIMUR DAN BARAT

Pada dasarnya kehidupan manusia tidak akan pernah lepas dari masalah perbedaan, baik itu perbedaan budaya, agama, suku, bangsa, pemikiran, pendapat, dan masih banyak lagi perbedaan yang lainnya. Ruang lingkup perbedaan tidak hanya mencakup kawasan yang luas seperti negara, daerah, desa, dan lain-lain tapi mencakup juga kawasan yang kecil seperti keluarga bahkan pada setiap diri manusia.Dari sinilah awal sikap manusia timbul, perbedaan yang terdapat dalam diri manusia terletak pada dua pemikiran yang saling berlawanan sehingga timbul penilaian dari manusia lain berupa baik dan buruk. Ketika manusia lebih memilih pola pikiran yang bersifat baik maka pilihan ini akan sangat bermanfaat baginya selain dapat mententramkan dirinya hal ini juga sangat bermanfaat bagi orang lain karena sikap baik yang dihadirkan oleh seseorang akan sangat menyenangkan bagi orang lain disekitarnya, lain halnya bila seorang manusia lebih memilih pola pikiran yang bersifat buruk maka selain akan sangat merugikan bagi dirinya hal ini juga sangat merugikan bagi orang lain disekitarnya.
            Di beberapa kawasan tertentu pengambilan keputusan terhadap perbedaan yang ada dalam diri seseorang sangat di pengaruhi oleh faktor dari luar seperti contoh orang-orang muslim atau disebut juga orang timur karena kebanyakan umat muslim tinggal disana, mereka tidak bisa mengambil keputusan secara langsung tanpa memikirkan hal-hal yang berhubungan dengan keputusan yang mereka ambil, karena orang-orang muslim terikat oleh peraturan yang dibentuk oleh Allah Swt dalam kitab al-Quran. Di jelaskan disana bagaimana dampak atau akibat dari kesalahan atau ketepatan dalam mengambil keputusan maksudnya jika seseorang berbuat benar maka dia akan mendapat penghargaan berupa pahala dari Allah Swt sedangkan jika dia berbuat kesalahan maka dia akan mendapat hukuman berupa siksa. Lain halnya dengan orang non-muslim atau orang barat, kebanyakan dari mereka melakukan apa yang mereka mau tanpa memikirkan dampak bagi orang lain, mereka hanya memikirkan dirinya sendiri asalkan keinginan mereka tercapai, orang non-muslim tidak terlalu terikat dengan peraturan karena meskipun ada peraturan hal itu tidak bersifat kekal disebabkan buatan tangan dan pemikiran manusia, lain halnya dengan orang muslim yang menggunakan peraturan yang bersifat kekal dan tidak bisa berubah-ubah.
Dari perbedaan inilah timbul perbedaan dalam corak atau budaya, dimana orang timur lebih memilih kehidupan yang memang berhubungan dengan nilai-nilai keagamaan, dan menerapkan nilai-nilai tersebut dalam setiap aspek kehidupan yang mereka jalani dengan menggunakan istilah yang sering kita dengar yaitu “syar’i” atau syariat islam. Sedangkan orang barat cenderung bersikap bebas dan biasanya lebih mementingkan diri sendiri dari pada orang, terkadang merka bersikap menghalalkan segala cara agar keinginan yang mereka harapkan dapat terpenuhi tidak perduli meskipun ada orang lain yang dirugikan, istilah yang biasa digunakan untuk menggambarkan hal ini adalah “liberal”. Tapi perlu diketahui juga bahwatidak semua orang barat memiliki sikap seperti demikian karena dibarat juga ada agama yang mengaturnya, hanya agama tersebut tidak sesempurna agama Islam.     

Rabu, 08 Desember 2010

PENGERTIAN SUMBER DAN DALIL

1. Pengertian Sumber
Di kalangan ulama ushul terkenal istilah masadir al-ahkam, masadir al-syariah, masadir al-tasyri atau yang diartikan sumber hukum. Istilah-istilah ini jelas mengandung makna tempat pengambilan atau rujukan utama serta merupakan asal sesuatu.
Dalam konteks ini Al-Qur’an dan as-Sunnah adalah merupakan sumber hukum dan sekaligus menjadi dalil hukum, sedangkan selain dari keduanya seperti al-ijma, al-qiyas dan lain-lainnya tidak dapat disebut sebagai sumber, kecuali hanya sebagai dalil karena ia tidak dapat berdiri sendiri.
Akan tetapi, dalam perkembangan perkembangan pemikiran ushul fikih yang terlihat dalam kitab-kitab ushul fikih kontemporer, istilah sumber hukum dan dalil hukum tidak dibedakan. Mereka menyatakan bahwa apa yang disebut dengan dalil hukum adalah mencakup dalil-dalil lain yang dipergunakan dalam istimbat hukum selain Al-Qur’an dan as-Sunnah. Sebab, keduanya merupakan istilah teknis yang yang dipakai oleh para ulama ushul untuk menyatakan segala sesuatu yang dijadikan alasan atau dasar dalam istimbat hukum dan dalam prakteknya mencakup Al-Qur’an, as-Sunnah dan dalil-dalil atau sumber-sumber hukum lainnya.
Oleh karena itu, dikalangan ulama ushul masalah dalil hukum ini terjadi perhatian utama atau dipandang merupakan sesuatu hal yang sangat penting ketika mereka berhadapan dengan persoalan-persoalan yang akan ditetapkan hukumnya. Dengan demikian setiap ketetapan hukum tidak akan mempunyai kekuatan hujjah tanpa didasari oleh pijakan dalil sebagai pendukung ketetapan tersebut.
Keberadaan dalil sebagai pijakan yang mendasari suatu ketetapan hukum mutlak harus diperhatikan dan tidak bisa diabaikan. Jika dilihat dari segi keberadaannya, maka dalil dapat dibedakan kepada dua macam, yaitu:
1. Al Adillah Al Ahkam Al Manshushah atau dalil-dalil hukum yang keberadaannya secara tekstual terdapat dalam nash. Dalil-dalil hukum yang dikategorikan kepada bagian ini adalah Al-Qur’an dan as-Sunnah atau disebut pula dengan dalil naqli.
2. Al Adillah Al Ahkam ghoirul Manshushah atau dalil-dalil hukum yang scara tekstual tidak disebutkan oleh nash Al-Qur’an dan as-Sunnah. Dalil-dalil ini dirumuskan melalui ijtihad dengan menggunakan penalaran ra’yu dan disebut pula dengan dalil aqli.
Adapun dalil-dalil yang dikelompokkan kepada kategori terakhir ini meliputi Ijma, Qiyas, Istihsan, Mashalih Mursalah, Istishab, Urf, Syarun Man Qablana dan Qaul Shahabi. Ijma dan Qiyas hampir seluruh mazhab mempergunakannya, sedangkan dalil-dalil yang keberadaannya menimbulkan perdebatan di kalangan ulama mazhab ushul. Perbedaan ini muncul karena ketika ulama ushul tidak menemukan dalil atau alasan yang mendasari suatu hukum dari Nash, maka mereka menggunakan ra’yu mereka masing-masing dengan rumusan tersendiri. Hal ini diyakini termotivasi oleh hadits yang berisi dialog antara Nabi saw dengan Mu’az Bin Jabal ketika akan dikirim ke Yaman
Nabi bertanya kepada Mu’az Bin Jabal, “Bagaimana engkau memutuskan suatu perkara jika diajukan orang kepada engkau? ”Mu’az menjawab, “saya akan putuskan dengan Kitab Allah”. Nabi bertanya kembali, ”jika tidak engkau dalam Kitab Allah?”. “Saya akan putuskan dengan sunnah Rasulullah”, jawab Mu’az. Dan Rasulullah bertanya kembali, ”Jika tidak engkau temukan dalam sunnah Rasulullah dan tidak pula dalam Kitab Allah?”. Mu’az menjawab, “Saya akan berijtihad dengan pemikiran saya dan saya tidak akan berlebih-lebihan”. Kemudian Rasulullah membenarkannya.
Atas dasar ini para ulama ushul di berbagai mazhab menyusun dan berpijak pada sistematika istimbat yang mereka susun masing-masing secara berurutan dengan menempatkan dalil-dalil ra’yu setelah Al-Qur’an dan as-Sunnah
2.                  Pengertian Dalil
Sedangkan dalil atau yang diistilahkan dengan adillat al-ahkam, ushul al-ahkam, asas al-tasyri dan adillat al-syari;ah mengacu kepada pengertian sesuatu yang dapat dijadikan petunjuk sebagai alasan dalam menetapkan hukum syara.
Dalam kajian ushul fikih, para ulama ushul mengartikan dalil secara etimologis dengan “sesuatu yang dapat memberi petunjuk kepada apa yang dikehendaki”. Sementara itu, Abdul Wahab Khallaf menjelaskan bahwa, menurut bahasa yang dimaksud dengan dalil ialah “sesuatu yang meberi patunjuk kepada sesuatu yang dirasakan atau yang dipahami baik sifatnya hal yang baik maupun yang tidak baik”.
Adapun secara terminologis para ulama ushul berbeda dalam mendefinisikan dalil hukum. Abdul Wahab Khallaf menyebutkan, menurut istilah yang dimaksud dengan dalil hukum ialah “segala sesuatu yang dapat dijadikan petunjuk dengan menggunakan pikiran yang benar untuk menetapkan hukum syara yang bersifat amali, baik secara qath’i maupun secara zhanni”.
Ibnu al Subki dalam kitab Matn Jam’i al Jawami’ menyebutkan pula bahwa yang dimaksud dengan dalil hukum ialah “apa saja yang dapat dipergunakan untuk sampai kepada yang dikehendaki, yaitu hukum syara dengan berpijak pada pemikiran yang benar”.
Dari pengertian yang telah dikemukakan di atas dapat dipahami bahwa pada dasarnya yang disebut dengan dalil hukum ialah segala sesuatu yang dapat dijadikan alasan atau pijakan yang dapat dipergunakan dalam usaha menemukan dan menetapkan hukum syara atas dasar pertimbangan yang benar dan tepat.
Oleh karena itu, dalam istimbat hukum persoalan yang paling mendasar yang harus diperhatikan adalah menyangkut apa yang menjadi dalil yang dapat dipergunakan dalam menetapkan hukum syara dari sesuatu persoalan yang dihadapi. Tentu saja, penetapan hukum syara harus didukung oleh pertimbangan yang tepat dan cermat dengan menggunakan dalil yang jelas.

Senin, 06 Desember 2010

Akhlaq Irfani

A. Kerangka berfikir irfani

  1. Pengertian
            Kerangka berfikir irfani adalah suatu lingkup perjalanan yang ditempuh oleh para ulama sufi dengan tujuan pengenalan (ma’rifat) kepada Allah. Sebagaimana telah disebutkan dalam pendahuluan bahwa ma’rifat adalah tujuan akhir yang ditempuh oleh para ulama sufi yang sebelum tujuan tersebut ada beberapa maqam dan hal yang ditempuh

  1. Metode irfani
Pada dasarnya potensi untuk memperoleh ma’rifat telah ada pada manusia, tapi yang menjadi persoalannya apakah ia telah memenuhi prasarana atau prasaratnya? Salah satu prasaratnya antara lain adalah kesucian jiwa dan hati. Karena apabila totalitas jiwanya telah suci dan hatinya telah dipenuhi dengan zikir kepada tuhan, hidupnya akan dipenuhi oleh kearifan dan bimbingannya.
Dalam dunia tasawuf, qalb merupakan pengetahuan tentang hakikat, termasuk didalamnya adalah hakikat ma’rifat. Qalb yang dapat memperoleh ma’rifat adalah qalb yang telah suci dari berbagai noda atau akhlak buruk yang sering dilakukan manusia. Karena qalb merupakan bagian jiwa, kesucian jiwa sangat mempengaruhi kecemerlangan qalb dalam menerima ilmu. Didalam metode ini ada beberapa upaya-upaya tertentu yang harus dilalui oleh para sufi disamping maqamat dan ahwal, yaitu
1.      Riyadhah
Riyadhah yang sering disebut juga latihan-latihan mistik, adalah latihan kejiwaan melalui upaya membiasakan diri agar tidak melakukan hal-hal yang mengotori jiwanya. Riyadhah dapat pula berarti proses internalisasi kajian dengan sifat-sifat terpuji dan melatih diri untuk meninggalkan sifat-sifat buruk.
2.      Tafakur
Tafakur penting dilakukan bagi mereka yang menginginkan ma’rifat sebab, tatkala jiwanya telah belajar dan mengolah ilmu, lalu memikirkan (bertafakur) dan menganalisisnya, pintu kegaiban akan dibukakan untuknya. Menurut Al-Ghazali, orang yang berfikir dengan benar akan menjadi dzawi Al-abab (ilmuwan) yang terbuka pintu kalbunya sehingga akan mendapat ilham. Dalam risalah Laduniyah, Al-Ghazali pun menjelaskan bahwa tafakur pun merupakan salah satu cara untuk memperoleh ilmu ladani.
3.      Tazkiyat An-Nafs
Tazkiyat A-Nafs adalah proses penyucian jiwa manusia. Proses penyucian jiwa dalam kerangka tasawuf ini dapat dilakukan melalui tahapan takhalli dan tahalli. Tazkiyat An-Nafs merupakan inti kegiatan bertasawuf. Sahl bin Abdullah Ash-Shufi berpendapat bahwa siapa saja yang pikirannya jernih, ia berada dalam keadaan kontemplatif. Kalangan sufi adalah orang-orang yang senantiasa menyucikan hati dan jiwa. Perwujudannya adalah rasa membutuhkan terhadap tuhannya.
4.      Dzikrulloh
Secara etimologi, zikir adalah mengingat sedangkan secara istilah adalah membasahi lidah dengan ucapan-ucapan pujian kepada Allah. Zikir merupakan metode lain yang paling utama untuk memperoleh ilmu ladani.

B. Maqamat

  1. Pengertian
Maqamat, bentuk jamak dari maqam berarti tahapan, tingkatan, atau kedudukan. Jadi, maqamat adalah tahapan rohani yang ditempuh oleh para pengamal tasawuf untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Yang dimaksud dengan tingkatan (maqam) oleh para sufi ialah tingkatan seorang hamba dihadapannya, dalam hal ibadah dan latihan-latihan(riyadhah) jiwa yang dilakukannya. Dikalangan kaum sufi, urutan maqam- ini berbeda-beda. Sebagian mereka merumuskan maqam-maqam dengan sederhana, seperti rangkaian maqam qana’ah berikut ini: Tanpa qana’ah, tawakal, tidak akan tercapai; tanpa tawakal, taslim tak akan ada; tanpa tobat, inabah tak akan ada; tanpa wara, zuhud tak akan ada.

  1. Maqam-maqam dalam tasawuf
1.      Tobat
Kebanyakan sufi menjadikan tobat sebagai penghentian awal dijalan menuju Allah. Pada tingkat terendah, tobat menyangkut dosa yang dilakukan jasad atau anggota-anggota badan. Sedangkan pada tingkat menengah, disamping menyangkut dosa yang dilakukan jasad, tobat menyangkut pula pangkal dosa-dosa, seperti dengki, sombong, dan riya. Pada tingkat yang lebih tinggi, tobat menyangkut usaha menjauhkan bujukan setan dan menyadarkan jiwa akan rasa bersalah pada tingkat terakhir, tobat berarti penyesalan atas kelengahan pikiran dalam mengingat Allah. Tobat pada tingkat ini adalah penolakan terhadap sesuatu selain yang dapat memalingkan dari jalan Allah.
2.      Zuhud
Dilihat dari maksudnya, zuhud terbagi menjadi tiga tingkatan. Pertama. Menjauhkan dunia agar terhindar dari hukuman di akhirat. Kedua, menjauhi dunia dengan menimbang imbalan diakhirat. Ketiga, mengucilkan dunia bukan karena takut atau berharap, tetapi karena cinta kepada Allah belaka. Orang yang berada pada tingkat tertinggi ini akan memandang segala sesuatu, kecuali Allah, tidak mempunyai arti apa-apa.
3.      Faqr (fakir)
Faqr dapat berarti sebagai kekurangan harta dalam menjalani kehidupan di dunia. Sikap faqr penting dimiliki oleh orang yang berjalan menuju Allah, karena kekayaan atau kebanyakan harta memungkinkan manusia lebih dekat pada kejahatan, dan sekurang-kurangnya membuat jiwa tertambat pada selain Allah.
4.      Sabar
Sabar, menurut Al-Ghazali, jika dipandang sebagai pengekangan tuntutan nafsu dan amanah, dinamakan sebagai kesabaran jiwa (ash-shabr an-nafs), sedangkan menahan terhadap penyakit fisik, disebut sebagai sabar badani (ash-shabr al-badani). Kesabaran jiwa sangat dibutuhkan dalam berbagai aspek. Misalnya untuk menahan nafsu makan dan seks yang berlebihan.
5.      Syukur
Sukur diperlukan karena semua yang kita lakukan dan miliki di dunia adalah berkat karunia Allah. Allahlah yang telah memberikan ni’mat kepada kita, baik berupa pendengaran, penglihatan, kesehatan, keamanan, maupun nikmat-nikmat lainnya yang tidak terhitung jumlahnya.
6.      Rela
Rela berarti menerima dangan rasa puas terhadap apa yang dianugrahkan Allah SWT. Orang yang rela mampu melihat hikmah dan kebaikan dibalik cobaan yang diberikan Allah dan tidak berburuk sangka terhadap ketentuannya. Bahkan, ia mampu melihat keagungan, kebesaran, dan kemahasempurnaan Dzat yang memberikan cobaan kepadanya sehingga tidak mengeluh dan tidak merasakan sakit atas cobaan tersebut. Hanyalah ahli ma’rifat dan mahabbah yang mampu bersikap seperti ini. Mereka bahkan merasakan musibah dan ujian sebagai suatu nikmat, lantaran jiwanya bertemu dengan yang dicintainya.
7.      Tawakal
Tawakal merupakan gambaran keteguhan hati dalam menggantungkan diri hanya kepada Allah. Dalam hal ini Al-Ghazali mengaitkan tawakal dengan tauhid, dengan penekanan bahwa tauhid berfungsi sebagai landasan tawakal.

C. Ahwal

  1. Pengertian
Ahwal bentuk jamak dari hal, adalah keadaan mental yang dirasakan oleh para pengamal tasawuf sebagai anugerah yang datang dari Allah SWT. Istilah hal yang dimaksud disini adalah keadaan atau kondisi psikologis ketika seorang sufi mencapai maqam tertentu. Menurut Al-Thausi, keadaan (hal) tidak termasuk usaha latihan-latihan rohaniyah (jalan). Di antara contoh hal (keadaan) adalah keterpusatan diri(muraqabah), kehampiran atau kedekatan (qaro), cinta (hubb), takut(khauj), harap(raja) rindu(syauq), intims(auns), tentram(thumaninah), penyaksian( musyahadah), dan vakin

  1. Macam-macam hal
1.      Waspada dan mawas Diri
      Waspada dan ,mawas diri merupakan dua hal yang saling berkaitan erat. Oleh karena itu, ada sufi yang mengupasnya secara bersamaan. Waspada dan mawas diri merupakan dua sisi dari tugas yang sama dalam menundukan perasaan jasmani yang berupa kombinasi dari pembawaan nafsu dan amarah.
      2. Cinta
Dalam pandangan tasawuf, mahabbah (cinta) merupakan pijakan bagi segenap kemuliaan hal, sama seperti tobat yang merupakan dasar bagi kemuliaan maqam. Karena mahabbah pada dasarnya adalah anugerah yang menjadi dasar pijakan bagi segenap hal, kaum sufi menyebutnya sebagai anugerah-anugerah (mawahib). Mahabbah adalah kecenderungan hati untuk memperhatikan keindahan atau kecantikan.
      3. Berharap dan takut
Menurut kalangan kaum sufi, raja ‘ dan khauf berjalan seimbang dan saling mempengaruhi. Raja dapat berarti berharap atau optimisme, yaitu perasaan senang hati karena menanti sesuatu yang diinginkan dan disenangi.
      4. Rindu
Selama masih ada cinta, syauq tetap diperlukan. Dalam lubuk jiwa seorang sufi, rasa rindu hidup dengan subur, yakni rindu untuk segera bertemu dengan tuhan. Ada orang yang mengatakan bahwa maut merupakan bukti cinta yang benar dan lupa kepada Allah lebih berbahaya daripada maut. Bagi sufi yang rindu kepada Tuhan, maut dapat mempertemukannya dengan Tuhan, sebab hidup merintangi pertemuan ‘abid dengan Ma’budnya.
      5. Intims
Dalam Pandangan kaum sufi sifat, uns (intim) adalah sifat merasa selalu berteman, tak pernah merasa sepi.   
           
D. Perbedaan Maqamat dan Ahwal
            Menurut para sufi ada pebedaan antara Maqamat dan Ahwal, seperti: Maqam menurut mereka ditandai oleh kemapanan. Sementara hal justru mudah hilang. Maqam dapat dicapai seseorang dengan kehendak dan upayanya. Sementara hal dapat diperoleh seseorang tanpa disengaja.


Daftar Pustaka

DR. Rosihon Anwar, M.Ag.;Drs. Mukhtar Solihin ’Ilmu Tasawuf, Pustaka Setia, Bandung, 2006
http://digilib.uin-suka.ac.id/gdl.php?mod=browse&op=read&id=digilib-uinsuka--alwankhoir-28&q=Usul

Minggu, 05 Desember 2010

Isim Mu'rab

ISIM MU’RAB   (Lj¨À»A Án»A)

A.    Pengertian Isim Mu’rab
Isim mu’rab memiliki beberapa pengertian jika dilihat dari beberapa kitab, diantaranya :
-          Mu’rab merupakan asal kata dari i’rab yang berarti perubahan atau  berubah, sehingga isim mu’rab adalah isim yang dapat berubah akhirnya disebabkan ‘Amil (yang memerintah) atau karena pengaruh jabatan dalam struktur kalimat yang sempurna. ( A.Zakaria)
-           ôÓøÃôfò¿ ø²ôËójóZô»A òÅø¿ ùÉòJòrø»..ôÓøÄôJò¿ òË öLòjô¨ó¿ óÉôÄø¿ óÁônøÜôAòË
Isim mu’rab adalah isim yang bebas dari keserupaan dengan huruf atau tidak memiliki kesamaan dengan huruf. (Alfiyah)
-          Aõj@ôÍøfô´òMôËòA Bõ¤ô°ò» BøÈôÎò¼ò§ øØò¼øaA úf»A ø½ø¿A òÌò¨»A ø² òÝøNôa øÜ øÁø¼ò¸»A øjøaAòËòA ójôÎøÎô¬òM òÌóÇ óLAòjô§òâA
Isim mu’rab adalah isim yang terkena hukum i’rob yang mana pengertian dari I’rab sendiri adalah perubahan huruf akhir kalimah (kata) dengan perubahan yang tampak (lafdli) dan tidak tampak (muqaddar), karena ada ‘Amil (faktor). (Ajurumiyah)
Setelah dilihat dari pengertian beberapa kitab maka dapat disimpulkan bahwa isim mu’rab adalah isim yang tidak sama dengan huruf dan mengalami perubahan pada huruf atau tanda baca pada akhir  kalimatnya, yang bisa terlihat jelas (Zhahirah) ataupun tidak terlihat (muqaddarah), yang diakibatkan karena ‘Amil (yang memerintahkan) atau pengaruh jabatan dalam struktur kalimat yang sempurna. 
           
B.     Macam-macam Isim Mu’rab
Isim mu’rab terbagi menjadi sembilan macam yaitu :
1.      Isim Mufrad
2.      Isim Mutsana
3.      Isim Jama Muannats salim
4.      Isim Jama Mudzakar salim
5.      Isim Jama Taksir
6.      Asma Al-Khamsah
7.      Isim Maqshur
8.      Isim Manqush
9.      Isim Ghair Munsharif 

Tapi dalam makalah ini kami hanya akan menjelaskan mengenai empat macam isim saja yaitu:
1.      Asma Al-Khamsah
2.      Isim Maqshur
3.      Isim Manqush
4.      Isim Ghair Munsharif 
Dalam pembahasan macam-macam isim ini didalamnya akan dijelaskan mengenai bagaimana bentuk I’rab atau perubahan dari setiap isim, sehingga untuk mengetahui tentang i’rab, kami akan sedikit memaparkannya. Jika dilihat dari pengertian isim yang telah dibahas sebelumnya, mu’rab adalah asal kata dari i’rab, yang mana jika dilihat dipembahasan buku yang lain  i’rab ini terbagi menjadi empat macam, yaitu :

1.      Rafa (marfu) biasanya ditandai dengan wa atau dammah
2.      Nashab (manshub) biasanya ditandai dengan alif atau fathah
3.      Khafadh (majrur) biasanya ditandai dengan ya atau kasrah (khusus isim)
4.      Jazm (majzum) biasanya ditandai dengan sukun (khusus fi’il)
Perlu diketahuhi juga bahwa I’rab dari setiap isim berbeda ada yang berubah dari huruf akhirnya ada juga yang berubah dari tanda bacanya, selain itu I’rab ini tidak selamanya dapat dilihat dengan jelas (zhahirah) tapi kadang harus diperkirakan (muqaddarah)
a.      Asma Al-Khamsah (ÒnÀb»AÕBÀmÜA)
                  Asma al-khamsah yang sering kita ketahui artinya isim yang lima, adalah satu kelompok isim yang sama bentuknya dan perubahannya (A.Zakaria). tapi jika dilihat dari buku alfiyah asma al-khamsah ini tidak disebut demikian melainkan asmaus sittah yang berarti isim yang enam meskipun demikian yang lebih dikenal oleh siswa pada umumnya adalah asma al-khamsah, untuk lebih jelasnya dapat dilihat dari pembagian berikut:

- Asma al-khamsah
        òºòLŒC     ò¹ôÎøIŒC     òºôôÌóIC
  òºBòaòA    ò¹ôÎøaŒC    òºôÌóaŒC
  òºBòÀòY  ¹ôÎøÀòY    òºôËóÀòY
òºBò¯     ò¹ôÎø¯     òºôÌó¯
ù¾Bò¿Aòg     ù¾BòÀôÍøg    ù¾Bò¿ôËóg

- Asmaus sittah
öÁòY , óÊôÌó¯, ù¾Bò¿–Ë•g , öÅòÇ , ödŒC , öLŒC
           
Adapun syarat-syarat yang berlaku pada asma al-khamsah yaitu :
- Hendaklah dalam bentuk mufrad
- Hendaklah di dhafatkan (disandarkan) kepada kalimat lain seperti:ò ºôÌóaŒC, òºôÌóIŒCñ , Apabila tidak didhafatkan maka tidak disebut isim yang lima, seperti : •dŒC , ••LŒC
- Tidak didhafatkan kepada ,óÁø¼ò¸òNó¿ óÕBòÍ seperti øÓaŒC, øÓIŒC  dan seterusnya.
            Tanda i’rab untuk asma al-khamsah adalah :
-  marfu ditandai dengan dhommah
- manshub ditandai dengan fathah
- majrur ditandai dengan kasrah

b.      Maqshur        (iÌv´À»A)  
Ò¿kÜ ±»A ÊjaA Lj¨¿ Ánø ½· ÌÇ iÌv´À»A         
Isim maqshur adalah isim yang yang berakhiran  Ò¿kÜ ±»A (alif tetap), yang huruf sebelunya berakhiran fathah, berbeda dengan alif mutsana, alif disini tidak bisa dirubah atau dibuang ,karena alif tersebut termasuk huruf asal,
contoh: ÔòfóÈô»A - Óò°ò^ôvóÀô»A - ÓòNò°ô»A tidak seperti  øÆBòNôÎòI - øÆAòfò»òË dimana alif disana merupakan tambahan.
            Bentuk I’rab atau perubahan dalam isim ini tidak dapat terlihat dengan jelas, maka I’rabnya harus diperkirakan (muqaddarah)

c.       Manqush        (wÌ´ÄÀ»A)
BȼJ³B¿ ÑiÌn¸¿ Ò¿kÜ ÕBÍ ÊjaA Lj¨¿ ÁnA½· ÌÇ xÌ´ÄÀ»A  
Isim manqush adalah setiap isim yang berakhiran  Ò¿kÜBÍ (ya tetap) yang huruf sebelumnya beakhiran kasrah, berbeda dengan Á¼´N¿BÍ yang memiliki arti kepemilikan.
contoh: Óø§Aòjô»A - ÓøÃúlô»A - ÔøeBòÈô»A berbeda dengan  ÔøjòNô¯òe - ÓøNôÎòI -ÓøIŒA
Sama halnya seperti isim maqshur bentuk I’rab atau perubahan dalam isim ini tidak dapat terlihat dengan jelas, maka I’rabnya harus diperkirakan (muqaddarah)

d.      Isim Ghair Munsharif           (²jvÄÍÜ Ôh»A ÁmÜA)
ÅÍÌÄN»A Éμ§ ½afÍÜÔh»A ÁmÜAÌÇ
Munsharif artinya tanwin. maka Isim Ghair Munsharif adalah isim yang tidak bisa dibaca tanwin, seperti :
óÒòrøÖBò§ - óÒòÀøM Bò¯ - óÁôÎøÇAòjI˜G - óÅòÀôró§
 Pada daarnya isim hendaklah dibaca tanwin apabila tidak terdapat alif lam, seperti:
     öÒúÄòU menjadi  óÒúÄòVô»òA
 õOôÎòI  menjadi  óOôÎòJô»òA
  ûÏøJòà menjadi ûÏøJúÄ»òA
Sedangkan isim ghair munsarif tidak bisa dibaca tanwin walau tidak ada alif lam, seperti:
  óÁôÎøÇAòjôIøA tidak bisa dibaca  öÁôÎøÇAòjôIøA
óÆBóÀôró§ tidak bisa dibaca   öÆBòÀôró§
óÁõÍôjò¿ tidak bisa dibaca   öÁòÍôjò¿

  Tanda i’rab untuk isim ghair munsarif  adalah :
- marfu ditandai dengan dhommah
- manshub ditandai dengan fathah
- majrur ditandai dengan fathah

Selain penjelasan diatas, perlu diketahui juga jika isim ghair munsharif memiliki rincian lain, yaitu : isim ghair munsharif berjumlah 12 (dua belas) dan dibagi tiga kelompok, untuk lebih jelasnya dapat dilihat penjelasan berikut:

-          Kelompok 1
a.        øªôÌóÀóVô»A ÓòÈòNôÄó¿ óÒò°ôÎøu , bentuk jama’ dengan pola:
ò½ø§Bò°ò¿ seperti  ò©øyAòÌò¿ - òføUBònò¿
ò½ø§ AòÌò¯ seperti òKøUAòÌòu - òKøMAòËòi
½ø§Bò¯òC seperti    òjøIBò·ŒC - òÅø·Bò¿òC
b.      øÑòiôÌóvô´òÀô»A øSôÎóøÃôDúN»A ó±ø»òC , Isim yang yang berakhiran alif  yang menunjukan jenis perempuan. Seperti:
Ôòjô¬óu - ÔòjôJó· - ÔòjòaŒC
Sementara untuk jenis laki-laki tidak disebut ghair munsarif seperti:
jôÎø¬òu - öjôÎøJò· - ójòaŒC  
c.       Isim yang menunjukan perempuan dan berakhiran alif dengan bacaan panjang, seperti :
óÕAòjô°òu - óÕBòzôÎòI - óÕAòeôÌòm - óÕAòjôÀòY
Sementara untuk jenis laki-laki adalah :
ójò¬ôuŒC - ó|òÎôIŒC - óeòÌômŒC - ójòÀôYŒA
  
-          Kelompok 2
a.       Sifat bersama adl’, artinya pindah dari satu bentuk ke bentuklain tanpa alasan contoh: bentuk asalnya adalah kemudian berubah bentuk menjadi:
Óò§BòIói - òTòÝóQ - ÓòÄôró¿
b.      sifat bersama wazan fi’il,artinya isim yang satu pila denganfi’il, seperti •jòJ·ŒC - óÅònôYŒC . lafazh tersebut isim tetapi satu pola dengan pola fi’il wazan: ò½ò¨ô¯ŒC
c.       sifat dengan tambahan alif dan nun, maksudnya unsur sifat yang berakhiran alif dan nun
        óÆBò¨ôJòq - óÆBòJôzò« - óÆAòjô¸òm

-          Kelompok 3
a.       Nama bersama adl, adalah nama yang bentuknya merupakan pindahan dari nama lain, contoh:
ò½òY•k - Œjò¯•k - ŒjòÀó§
b.      Nama bersama wazan fi’il, yaitu bentuk isim yang satu pola dengan fi’il, contoh:
•fô͘lòÍ - óoòÄôYŒC - ófòÀôYŒC
c.       Nama bersama tambahan alif dan nun, yaitu nam yang berakhiran alif dan nun, contoh:
óÆBòÎô°óm - óÆBòÀôRó§
d.      Nama bersama ta’nits, yaitu nama yang berakhiran ta Ta’nits, contoh:
 óÑŒjôÎø¬ó¿ - óÒòÀøŸBò¯ - óÒòrøÖBò§
e.       Nama bersama ujmah, ujmah maksudnya adalah nama asing dan bukan nama arab, seperti:
ò±óm–ÌóÍ - ò½ôÎø§BòÀnòG - óÁôÎøÇAòjôJòG
f.       Nama bersama tarkib majzi, tarkib majzi maksudnya adalah dua nama dijadikan satu, seperti:
óPôÌò¿òjôzòY - ò¹òJò¼ô¨òI
Syarat- syarat menjadi isim ghair munsharif ada dua yaitu:
1.      Tidak didhafatkan kepada kalimat lain.
2.      Tidak terdapat alif lam diawalnya

Daftar Pustaka
Ibnu’Aqil, Bahaud Din Abdullah
2007  Terjemah: Alfiyah Syarah Ibnu’Aqil. Edisi 7. Bandung : Sinar Baru Algesindo
Chafidh, M. Afnan
Terjemah: Ajurumiyah Umrithi. Pekalongan: Hasan Edrus
Zakaria, Aceng
2004 Ilmu Nahwu Praktis. Garut: Ibn Azka Pers
Zakaria, Aceng
2004 al-Muyassar Fii Ilmi An-Nahwi. Cetakan 22. Garut: Ibn Azka Pers